Oleh : Ahmad Arya (Koordinator Biro Aksi dan Propaganda PC PMII Banjarmasin)
Pemerintah Kota Banjarmasin membuat gebrakan unik: naik bus Tayo cukup membayar dengan botol plastik. Sekilas terdengar menarik ramah lingkungan, inovatif, dan edukatif. Namun kalau kita kritisi di balik ide kreatif itu, ada pertanyaan besar dikepala saya yang menari nari, apakah ini benar² solusi atas darurat sampah plastik, atau sekadar gimmick kebijakan?
Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Di tengah badai krisis ini segala upaya pengurangan sampah tentu layak diapresiasi. Mengaitkan transportasi publik dengan aksi lingkungan memang langkah cerdas. Dengan membayar menggunakan botol plastik, masyarakat diajak untuk melihat sampah bukan sebagai beban, tetapi sebagai aset.
Tapi apa? langkah ini seperti menambal bocor dengan plester: kelihatan baik, tapi tidak menyentuh akar masalah. Saat ini, belum ada sistem pengolahan sampah yang jelas untuk menampung dan mendaur ulang botol plastik yang dikumpulkan dari program ini dan sampah yang sebelumnya aja gimana apa kabar? botol-botol itu ibaratnya hanya berpindah tempat dari rumah ke halte/ loket penukaran tiket bus tanpa kepastian nasib akhirnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, menurut data yang beredar, hanya sekitar 30% masyarakat yang tertarik menggunakan bus sebagai alat transportasi karena masyarakat sudah banyak yang pake transportasi pribadi. Gagasan ini hanya akan berdampak kalau didukung oleh sistemnya yang menyeluruh mulai dari bank sampah, fasilitas daur ulang, kemitraan dengan sektor swasta, sampai edukasi yang berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan bahwa program ini tidak berhenti di titik tukar botol dengan tiket, tetapi menjadi bagian dari transformasi pengelolaan sampah perkotaan.
Kita tidak butuh kebijakan yang viral sesaat, tapi kebijakan yang mengakar. Kalau tidak, kita hanya mengalihkan sampah dari jalan ke dalam bus tanpa benar-benar menyelesaikan masalahnya.
Sudah saatnya kebijakan publik tidak hanya mencari perhatian, tapi juga menciptakan perubahan. Jika dikelola dengan baik, program ini bisa menjadi model nasional. Tapi jika tidak, itu hanya akan jadi catatan kecil dalam sejarah kebijakan kota yang unik, tapi tidak efektif.