Sejarah politik global menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil sering kali berujung pada kemunduran demokrasi. Brasil, Mesir, Myanmar, dan Turki menjadi bukti bagaimana dominasi militer dalam politik mengarah pada represi, pelemahan institusi demokrasi, dan pengurangan kebebasan sipil. Indonesia sendiri pernah mengalami sistem dwifungsi ABRI yang menghambat demokratisasi dan menempatkan militer sebagai kekuatan dominan dalam pemerintahan. Reformasi 1998 menjadi titik balik untuk menegaskan supremasi sipil dengan membatasi peran TNI di luar sektor pertahanan dan menghapus keterlibatan mereka dalam ranah sipil.
Namun, pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru mengancam prinsip reformasi militer tersebut. Regulasi ini membuka peluang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan sipil dan memperluas perannya dalam urusan domestik. Dengan dalih stabilitas nasional dan penguatan birokrasi, UU ini justru menciptakan preseden bagi militerisasi politik. Sejarah menunjukkan bahwa begitu militer memperoleh akses ke pemerintahan, mereka cenderung mempertahankan serta memperluas kekuasaannya, sering kali dengan mengorbankan kebebasan sipil dan supremasi hukum.
UU TNI yang baru berpotensi melemahkan kontrol demokratis dan meningkatkan otoritarianisme terselubung. Reformasi militer bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi merupakan kontrak politik yang menjamin Indonesia tetap menjadi negara demokratis, bukan negara militeristik. Jika dibiarkan, pengesahan UU ini bisa menjadi awal dari kontrol militer terhadap kehidupan sipil, suatu langkah mundur yang mengancam kebebasan dan hak-hak rakyat.
Penolakan terhadap UU TNI bukan berarti anti-militer, melainkan bentuk komitmen terhadap prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak 1998. Supremasi sipil harus tetap ditegakkan agar Indonesia tidak terjebak dalam pola regresi demokrasi seperti yang terjadi di negara-negara lain. Diperlukan sikap kritis dan perlawanan untuk memastikan bahwa militer tetap berada dalam koridor fungsinya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai penguasa dalam pemerintahan.
Salah satu persoalan utama dalam UU TNI adalah keterlibatan prajurit aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Jumlah posisi yang dapat diisi oleh TNI meningkat dari 10 menjadi 16 jabatan, bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menegaskan bahwa militer harus kembali ke fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Dengan semakin luasnya peran TNI di ranah sipil, ancaman terhadap supremasi sipil semakin nyata.
Pengesahan UU TNI oleh DPR pada 20 Maret 2025 menunjukkan betapa mudahnya kepentingan rakyat dikesampingkan demi kepentingan segelintir elite yang ingin menghidupkan kembali dwifungsi militer. Revisi ini juga menambahkan dua tugas baru bagi TNI dalam operasi militer selain perang, yaitu menanggulangi ancaman siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi tumpang tindih kewenangan dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta membuka peluang bagi intervensi militer di luar negeri tanpa prosedur diplomatik yang jelas.
Selain itu, Pasal 47 memperluas daftar kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, bertambah dari 10 menjadi 14, termasuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, serta Kejaksaan Republik Indonesia. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin kuatnya dominasi militer dalam institusi sipil, yang berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi dan prinsip supremasi sipil. Khususnya, keterlibatan TNI dalam Kejaksaan dikhawatirkan mengancam independensi hukum, terutama dalam penanganan kasus yang melibatkan militer.
Pasal 53 juga mengalami perubahan dengan menaikkan batas usia pensiun prajurit TNI. Bintara dan tamtama maksimal pensiun di usia 55 tahun, perwira hingga pangkat kolonel 58 tahun, perwira tinggi bintang satu 60 tahun, perwira tinggi bintang dua 61 tahun, perwira tinggi bintang tiga 62 tahun, dan perwira tinggi bintang empat 63 tahun dengan kemungkinan perpanjangan dua tahun berdasarkan keputusan presiden. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat membebani anggaran negara serta memperlambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI.
Sikap Tegas PC PMII Samarinda
Kami, Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Samarinda, dengan tegas menolak UU TNI yang memberikan kewenangan luas bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil. Hal ini bukan hanya melanggar semangat reformasi 1998, tetapi juga membuka jalan bagi militerisasi pemerintahan. Dengan bertambahnya instansi sipil yang bisa diisi TNI aktif dari 10 menjadi 14, revisi ini memperkuat dominasi militer di ranah publik, menggerus peran sipil, dan mengancam kebebasan demokrasi.
Lebih dari itu, pengesahan UU TNI ini dilakukan tanpa transparansi dan menutup ruang kritik. Gelombang aksi masyarakat sipil yang menolak UU ini diabaikan oleh DPR, membuktikan bahwa wakil rakyat semakin jauh dari rakyatnya. Padahal, urgensi revisi ini sejak awal patut dipertanyakan. Alih-alih merevisi UU TNI, yang seharusnya diprioritaskan adalah perbaikan sistem peradilan militer agar prajurit yang melakukan tindak pidana bisa diadili di peradilan sipil, bukan berlindung di bawah mekanisme internal militer.
Ketua Umum PC PMII Samarinda, Sahabat Taufikuddin, menegaskan bahwa penguatan supremasi sipil adalah kunci menjaga demokrasi. Kami menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, akademisi, dan mahasiswa untuk bersatu dalam menolak segala bentuk upaya militerisasi pemerintahan. Reformasi bukan untuk dikembalikan ke tangan militer, dan kami akan terus berjuang agar supremasi sipil tetap terjaga! Reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah harus tetap dijaga, dan supremasi sipil tidak boleh dikorbankan atas nama keamanan semu yang justru bisa menjadi ancaman bagi kebebasan rakyat!