Martapura, 17 Maret 2025 - Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menguat di berbagai daerah. Salah satu yang bersuara lantang adalah Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) PC PMII Martapura, yang menilai RUU ini membuka celah kembalinya dwifungsi militer, sebuah sistem yang pada era Orde Baru telah membelenggu demokrasi, melemahkan supremasi sipil, dan menggerus hak-hak rakyat.
Dalam pernyataan resminya, Ketua KOPRI PC PMII Martapura, Masniah, menegaskan bahwa pihaknya dengan tegas menolak segala bentuk upaya yang memberi ruang lebih besar bagi militer untuk masuk ke dalam ranah sipil. Menurutnya, demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata tidak boleh dikorbankan atas nama stabilitas atau kepentingan politik sesaat.
"Dwifungsi militer adalah ancaman nyata bagi demokrasi. Model buruk ini tidak hanya memberikan ruang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil, tetapi juga membuka jalan bagi kembalinya otoritarianisme. Sejarah telah mencatat bagaimana dominasi militer dalam politik menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan menutup ruang partisipasi publik. Kita tidak boleh kembali ke masa kelam itu," tegas Masniah.
Masniah menyoroti sejumlah pasal bermasalah dalam RUU TNI yang dinilai sebagai ancaman serius terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Salah satunya adalah pasal yang memperluas Operasi Militer Selain Perang (OMSP), di mana TNI diberikan wewenang yang lebih luas dalam urusan keamanan domestik. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, tugas-tugas tersebut seharusnya berada di bawah otoritas sipil.
Selain itu, RUU ini juga memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara, sebuah langkah yang dianggap sebagai pintu masuk kembalinya dwifungsi militer.
"Dalam pengkajian kami, pasal-pasal ini jelas merupakan upaya terstruktur untuk mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Jika ini dibiarkan, kita akan melihat militer tidak hanya mengamankan negara dari ancaman eksternal, tetapi juga mulai mengatur urusan sipil, seperti kebijakan ekonomi, sosial, bahkan politik. Ini adalah kemunduran serius bagi reformasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade," tambahnya.
Masniah juga menepis argumentasi bahwa perluasan peran militer ini diperlukan untuk menjaga stabilitas dan keamanan nasional. Menurutnya, pengalaman di negara-negara dengan pemerintahan demokratis menunjukkan bahwa stabilitas tidak datang dari militerisasi pemerintahan, melainkan dari supremasi hukum, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
"Militer bukanlah solusi bagi setiap persoalan bangsa. Justru dalam sejarah Indonesia, intervensi militer dalam politik sering kali berujung pada represifitas terhadap rakyat, seperti yang kita saksikan di masa lalu. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terulang dengan dalih stabilitas," ujarnya.
Sebagai perbandingan, Masniah mengutip studi dari berbagai negara yang menunjukkan bahwa semakin besar peran militer dalam pemerintahan sipil, semakin tinggi risiko militerisasi kebijakan publik, pembungkaman oposisi, dan melemahnya mekanisme checks and balances.
Berdasarkan berbagai catatan kritis tersebut, KOPRI PC PMII Martapura menyatakan sikap politiknya, mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU TNI dan membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat sipil.
"Kami menuntut DPR RI untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU ini. Kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan kepentingan kelompok tertentu yang ingin mengamankan posisinya melalui peran militer yang semakin luas," tegas Masniah.
Lebih lanjut, KOPRI PC PMII Martapura menyerukan solidaritas nasional bagi seluruh elemen mahasiswa, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas untuk bersatu melawan segala bentuk kembalinya otoritarianisme militer.
"Kami tidak akan tinggal diam. Reformasi yang telah terbangun dengan susah payah tidak boleh dikhianati. Kita harus bersama-sama memastikan bahwa militer tetap berada dalam posisinya yang sesuai dengan prinsip demokrasi, yakni sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aktor politik atau pengendali kehidupan sipil," pungkas Masniah.