Disclaimer terlebih dahulu bahwa esai ini bersifat subjektif dengan bumbu-bumbu dekonstruksi ala derida.
Berbicara
tentang PMII berarti berbicara tentang "Cita-Cita Yang Hilang",
sengaja penulis mengambil judul "Mural Yang Tak Bermoral"
untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa ada sisi gelap atau noda hitam di batang
tubuh PMII. PMII "mengikat kontrak dengan politik" sejak lama,
kader-kader nya berlanjut dari generasi ke generasi, layaknya kromosom yang
pernah putus. Lembaga pmii sangatlah bagus secar konseptual maupun desain nya.
Namun ada sisi lain yang jarang diketahui, tapi ini menjadi fakta yang tak
terbantahkan oleh kader PMII itu sendiri, sering juga pembahasan seperti ini didiskreditkan
banyak orang.
Ada banyak
pertanyaan di kepala penulis seperti, apakah cita-cita luhur pmii terealisasi
yang termaktub dalam tujuan PMII?. Yang sering dibahas mengenai revisi tujuan,
antara 'dan' atau 'serta' terlepas dari itu semua apakah para kader-kader
mengerjakan tujuan itu?. Kita wajib bertanya sambil berkontemplasi, apakah
kader-kader pmii menjadi garda terdepan dalam hal adzan subuh ataupun imam
salat, atau masih rapat dari malam sampai subuh? atau dengan menambah jumlah
kader kita bisa menjadi negara terbersih di dunia?. Apakah pmii maju paling
depan dalam hal syiar islam, atau jangan-jangan ikut dalam gerakan sempalan?. Kita
tidak berbicara PMII secara lembaga namun kader-kader yang disumpah atau yang
berikrar akan setia dan mengamalkan nilai-nilai PMII itu sudah mengerjakan,
atau MAPABA, PKD, PKL dan PKN hanya sebatas event untuk membuat laporan bahwa PMII
masih hidup?.
Kita harus
menyadari dan mengakui masih terkungkung dalam pikiran anomali antara PMII lebih
baik memilih “kualitas kader atau kuantitas kader”?. Terlalu kuno kita
sedangkan PMII menekankan adanya pembaharuan dalam berpikir, mengintegrasikan
ilmu pengetahuan dengan manjat aswaja Kader-kader PMII tidaklah merdeka,
menjadi budak senioran yang memiliki kepentingan melenceng dari tujuan PMII itu
sendiri, apakah hal demikian benar?. Apakah PMII perlu dibubarkan?, mungkin itu
bukan lah solusi atas permasalahan di atas, namun evaluasi harus berbanding
lurus dengan tindakan konkret. Batang tubuh PMII sedang terluka oleh kader-kader
nya sendiri. Memakai nama lembaga hanya untuk kepentingan pribadi atau circle,
sungguh ironis melihat hal-hal demikian yang begitu najis. Entah lah apakah ihwal
ini benar terjadi.
Intervensi
senioran bak firman tuhan yang harus dikerjakan, evaluasi yang berkedok
caci-maki dinormalisasikan. Rapat 6+ jam dikatakan masih kurang, melaksanakan
event organisasi sampai sakit dikatakan loyalitas. Tidak ikut kegiatan
dikatakan pengkhianatan, betapa keren dan hebatnya organisasi kita. Ini menjadi
bahan refleksi dan kontemplasi untuk kita bersama. Untuk apa ada materi aswaja,
ndp sampai taraf nasional, jika hal demikian nihil dalam implementasi?. Apakah
menjadi kader PMII selama bertahun-tahun sampai ikut pkn akan menjamin bertambahnya
jamaah masjid yang safnya dari 1 menjadi 10?. Apakah dengan kita menyanyi lagu PMII
akan membuat hati kadernya tergerak akan banyaknya ketidakadilan?. Apakah kita perlu
jatuh untuk merasakan kepahitan?, tetap lah seperti itu wahai kader-kader yang
bertaqwa kepada Allah SWT. Inilah yang dinamakan dengan cita-cita yang hilang.
Tetaplah
mengingkari nilai-nilai dasar pergerakan wahai warga pergerakan. Untuk apa kita
menggaung kan tranformasi gerakan merawat peradaban, peradaban apa yang perlu
kita rawat?, Peradaban totalitarian?. Apa yang menjadi seru di PMII, rebutan
kursi ketum, melampiaskan amarah di musyawarah, mengevaluasi junior, bagi-bagi
proyek atau menghina lembaga lain?. Ini tulisan diperuntukkan sebagi bahan evaluasi
dan kontemplasi bagi kita semua, apakah paragraf di atas bisa dikatakan
benar, mungkin iya mungkin juga tidak. Apakah kita hanya fokus pada formalitas
tidak pada subtansi organisasi, apakah PMII organisasi yang kondusif untuk para
kader. Cara berpikir kita saja masih terpenjara, hanya berkutat pada,
"lebih baik eksistensi atau esensi"?. Apakah kita perlu meminta Basuki
Abdullah untuk menggambarkan realitas kader-kader kita saat ini? atau kita
perlu Akira Nakai untuk memodifikasi organisasi kita supaya performa menjadi
lebih baik?. Merayu-rayu kepada para calon kader, seakan seperti bagi-bagi
tiket surga. Apakah seperti ini organisasi kita?.
Teruslah membiasakan kebiadaban daripada beradaptasi terhadap zaman wahai para kader yang berbudi luhur. Indonesia butuh orang-orang seperti ini, supaya indonesia cemas 2045 bukanlah angan-angan semata. Tetaplah seperti ini wahai para warga pergerakan dan pada akhirnya apakah kita mau?