Nqp5MGN8Nap7LWVdNGV5NGRbyTUfATofA6YbyaV=
AI dan Mahasiswa: Bantu Tugas atau Bikin Malas?

AI dan Mahasiswa: Bantu Tugas atau Bikin Malas?

 


Oleh: Fikri Haekal Akbar (Koor. Biro Kajian Pengembangan Intelektual dan Eksplorasi Teknologi PC PMII Kota Banjarmasin)

Belum lama ini, saat saya sholat Jum'at di Masjid Abdurrahman Ismail Kampus 1 UIN Antasari, ada hal menarik yang disampaikan oleh khatib. Beliau membahas fenomena mahasiswa yang makin bergantung pada kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Katanya, AI sekarang sering dipakai untuk ngerjain tugas atau bantu presentasi, sampai muncul pertanyaan: AI ini sebenarnya lebih banyak negatifnya atau malah bisa jadi partner belajar yang baik?

Kalau dipikir-pikir, AI memang punya banyak manfaat positif. AI, alias kecerdasan buatan, itu teknologi yang bikin mesin bisa "berpikir" seperti manusia, bisa belajar, memecahkan masalah, dan sebagainya. Di dunia kampus, bahkan ada dosen yang nyaranin mahasiswa buat pakai AI. Misalnya, mahasiswa yang lagi riset bisa pakai AI buat nyari pola dari data yang ribet atau cari literatur dalam waktu singkat. Di zaman sekarang, yang makin ketat soal plagiat, AI juga bisa bantu parafrase tulisan biar bebas dari duplikasi. Jadinya, mahasiswa bisa lebih hemat waktu dan ngerjain tugas dengan lebih efisien.

Tapi di sisi lain, ada masalah juga. Ada mahasiswa yang jadi kebiasaan terlalu mengandalkan AI, sampai-sampai kemampuan berpikir kritis dan analisisnya berkurang. Misalnya, di kelas pas sesi tanya jawab, ada aja yang langsung cari jawaban dari AI tanpa ngerti konteksnya. Akibatnya, jawaban mereka nggak murni hasil pemikiran sendiri, malah cuma copy-paste dari AI. Hal kayak gini tentu aja bikin kualitas intelektual dan keilmuan mahasiswa jadi menurun.

Contoh lain, pas ngerjain tugas atau ujian, bukannya belajar dan nulis jawaban sendiri, ada yang malah sepenuhnya bergantung ke AI. Padahal, inti dari pendidikan itu kan melatih cara berpikir mandiri, bukan bikin mahasiswa jadi ketergantungan sama teknologi. Kalau terus begini, daya saing mereka di dunia kerja juga bisa berkurang, karena nggak terbiasa menyelesaikan masalah dengan mandiri.

Selain itu, ada juga isu soal etika. Kadang mahasiswa pakai AI buat hal-hal yang nggak sesuai aturan, kayak ngerjain tugas tanpa izin atau bikin karya ilmiah yang bukan hasil usaha sendiri. Ini jelas nggak sesuai dengan nilai-nilai kejujuran yang seharusnya dijunjung di dunia pendidikan. Makanya, penting banget ada edukasi soal gimana caranya pakai AI dengan benar dan bertanggung jawab.

Di sisi positif, AI bisa jadi teman belajar yang bermanfaat banget kalau dipakai dengan bijak. AI bisa bantu mahasiswa memahami konsep, cari referensi tambahan, atau bahkan ngerjain hal-hal teknis kayak parafrase. Dalam beberapa kasus, AI bisa jadi tutor yang bantu menjelaskan materi, apalagi buat pelajaran yang susah kayak matematika, fisika, atau coding. Dengan AI, mahasiswa bisa dapat panduan langkah demi langkah yang bikin mereka lebih paham.

Tapi tetap aja, mahasiswa harus bisa jaga keseimbangan. AI itu alat bantu, bukan pengganti. Belajar itu bukan cuma soal dapetin jawaban, tapi juga melatih analisis, kreativitas, dan kemampuan problem-solving. Dengan begitu, AI jadi partner yang bikin proses belajar lebih efektif tanpa kehilangan esensinya.

Supaya pemakaian AI lebih bijak, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, kampus perlu bikin panduan jelas tentang penggunaan AI di dunia akademik, termasuk batasan dan konsekuensinya kalau disalahgunakan. Kedua, dosen juga harus ngasih contoh gimana cara pakai AI dengan benar. Misalnya, mereka bisa nunjukin gimana AI dipakai buat simulasi atau analisis data di kelas. Ketiga, mahasiswa perlu diajarin literasi digital, termasuk cara pakai AI dengan etis. Ini penting biar mereka ngerti batasan teknologi ini, tahu cara evaluasi informasi, dan nggak asal percaya sama hasil dari AI.

Intinya, AI itu tergantung gimana cara kita memanfaatkannya. Kalau dipakai dengan tepat, AI bisa jadi teman belajar yang mendukung. Tapi kalau disalahgunakan, AI malah bisa jadi penghambat perkembangan kita. Makanya, mahasiswa perlu pakai AI dengan cerdas dan bertanggung jawab. Dengan begitu, kita bisa manfaatin teknologi ini tanpa kehilangan nilai-nilai dasar pendidikan yang penting.

Komentar

APA KATA MEREKA TENTANG PMII

Berikut ungkapan tentang PMII dimata mereka.

Testimoni
Jenderal TNI (Purn.) H. Prabowo Subianto
Presiden Republik Indonesia 2024-2029

Di saat kritis, dalam kehidupan bangsa PMII sebagai bagian dari keluarga besar NU, tampil dan berkali-kali menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Mereka adalah tokoh-tokoh yang banyak jasanya kepada negara dan bangsa.

Testimoni
Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA
Menteri Agama Republik Indonesia 2024-2029

Kader PMII memiliki peran strategis dalam mengatasi persoalan kebangsaan. Banyak kader dari PMII yang kini menempati posisi strategis dalam kepemimpinan nasional. PMII harus terus konsisten menebarkan toleransi dan kesejukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan beragam. PMII harus menjadi garda terdepan dalam mengamalkan dan menyebarkan Islam Ahlussunah Waljamaah.

Testimoni
Abdul Hadi
Bupati Balangan 2019-2029

Organisasi mahasiswa banyak memberikan pelajaran dan pengalaman terhadap dirinya. Misalnya, gaya berkomunikasi dan berorganisasi dengan baik. Sebab itu, saya berharap kader-kader PMII Kalsel sekarang bisa belajar dan menerapkannya di kehidupan bermasyarakat.

Testimoni
Prof. Dr. H. Mujiburrahman, MA
Rektor UIN Antasari Banjarmasin

PMII berdiri diatas tiga pilar, yaitu zikir, pikir dan amal saleh. Tiga pilar ini pada hakikatnya adalah gerakan hidup seorang muslim. Dengan ibadah, dia ingat Allah. Dengan berpikir, dia mendapatkan dan mengembangkan ilmu. Dengan amal saleh, dia mengisi hidupnya menjadi penuh makna.

Testimoni
KH. Yahya Cholil Staquf
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

PMII sudah punya ekosistem sendiri. Mulai dari jaringan nasional, organisasinya, sampai kepada alumni-alumni ini. Tidak mungkin saya membentuk organisasi baru untuk mahasiswa NU, sudah tidak ada waktu dan tidak ada momentum. Memang harus PMII.

Testimoni
Khofifah Indar Parawansa
Gubernur Jawa Timur 2019-2029

Saya merasa bahwa ini tempat menggodok dan mengasah bagi saya, leadership itu terasah dengan dinamika yang luar biasa, karena saya Ketua cabang PMII pertama di Indonesia.

Testimoni
Arumi Bachsin
Model dan Aktor Indonesia

PMII punya satu tempat khusus di hati saya. Lebih dari sekadar organisasi, PMII adalah rumah kedua saya. Di sinilah saya belajar tentang arti kepemimpinan, solidaritas, dan perjuangan.

Hubungi kami melalui WhatsApp