Belum lama ini, saat saya sholat
Jum'at di Masjid Abdurrahman Ismail Kampus 1 UIN Antasari, ada hal menarik yang
disampaikan oleh khatib. Beliau membahas fenomena mahasiswa yang makin
bergantung pada kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Katanya, AI sekarang sering dipakai
untuk ngerjain tugas atau bantu presentasi, sampai muncul pertanyaan: AI ini
sebenarnya lebih banyak negatifnya atau malah bisa jadi partner belajar yang
baik?
Kalau dipikir-pikir, AI memang
punya banyak manfaat positif. AI, alias kecerdasan buatan, itu teknologi yang
bikin mesin bisa "berpikir" seperti manusia, bisa belajar, memecahkan
masalah, dan sebagainya. Di dunia kampus, bahkan ada dosen yang nyaranin
mahasiswa buat pakai AI. Misalnya, mahasiswa yang lagi riset bisa pakai AI buat
nyari pola dari data yang ribet atau cari literatur dalam waktu singkat. Di zaman
sekarang, yang makin ketat soal plagiat, AI juga bisa bantu parafrase tulisan
biar bebas dari duplikasi. Jadinya, mahasiswa bisa lebih hemat waktu dan
ngerjain tugas dengan lebih efisien.
Tapi di sisi lain, ada masalah
juga. Ada mahasiswa yang jadi kebiasaan terlalu mengandalkan AI, sampai-sampai
kemampuan berpikir kritis dan analisisnya berkurang. Misalnya, di kelas pas
sesi tanya jawab, ada aja yang langsung cari jawaban dari AI tanpa ngerti
konteksnya. Akibatnya, jawaban mereka nggak murni hasil pemikiran sendiri,
malah cuma copy-paste dari AI. Hal kayak gini tentu aja bikin kualitas
intelektual dan keilmuan mahasiswa jadi menurun.
Contoh lain, pas ngerjain tugas
atau ujian, bukannya belajar dan nulis jawaban sendiri, ada yang malah
sepenuhnya bergantung ke AI. Padahal, inti dari pendidikan itu kan melatih cara
berpikir mandiri, bukan bikin mahasiswa jadi ketergantungan sama teknologi.
Kalau terus begini, daya saing mereka di dunia kerja juga bisa berkurang,
karena nggak terbiasa menyelesaikan masalah dengan mandiri.
Selain itu, ada juga isu soal
etika. Kadang mahasiswa pakai AI buat hal-hal yang nggak sesuai aturan, kayak
ngerjain tugas tanpa izin atau bikin karya ilmiah yang bukan hasil usaha
sendiri. Ini jelas nggak sesuai dengan nilai-nilai kejujuran yang seharusnya
dijunjung di dunia pendidikan. Makanya, penting banget ada edukasi soal gimana
caranya pakai AI dengan benar dan bertanggung jawab.
Di sisi positif, AI bisa jadi
teman belajar yang bermanfaat banget kalau dipakai dengan bijak. AI bisa bantu
mahasiswa memahami konsep, cari referensi tambahan, atau bahkan ngerjain
hal-hal teknis kayak parafrase. Dalam beberapa kasus, AI bisa jadi tutor yang
bantu menjelaskan materi, apalagi buat pelajaran yang susah kayak matematika,
fisika, atau coding. Dengan AI, mahasiswa bisa dapat panduan langkah demi
langkah yang bikin mereka lebih paham.
Tapi tetap aja, mahasiswa harus
bisa jaga keseimbangan. AI itu alat bantu, bukan pengganti. Belajar itu bukan
cuma soal dapetin jawaban, tapi juga melatih analisis, kreativitas, dan
kemampuan problem-solving. Dengan begitu, AI jadi partner yang bikin proses
belajar lebih efektif tanpa kehilangan esensinya.
Supaya pemakaian AI lebih bijak,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, kampus perlu bikin panduan
jelas tentang penggunaan AI di dunia akademik, termasuk batasan dan
konsekuensinya kalau disalahgunakan. Kedua, dosen juga harus ngasih contoh gimana
cara pakai AI dengan benar. Misalnya, mereka bisa nunjukin gimana AI dipakai
buat simulasi atau analisis data di kelas. Ketiga, mahasiswa perlu diajarin
literasi digital, termasuk cara pakai AI dengan etis. Ini penting biar mereka
ngerti batasan teknologi ini, tahu cara evaluasi informasi, dan nggak asal
percaya sama hasil dari AI.
Intinya, AI itu tergantung gimana
cara kita memanfaatkannya. Kalau dipakai dengan tepat, AI bisa jadi teman
belajar yang mendukung. Tapi kalau disalahgunakan, AI malah bisa jadi
penghambat perkembangan kita. Makanya, mahasiswa perlu pakai AI dengan cerdas
dan bertanggung jawab. Dengan begitu, kita bisa manfaatin teknologi ini tanpa
kehilangan nilai-nilai dasar pendidikan yang penting.